Breaking

Ketika Mata Hati Tertutup

Ghouta
Pic by seraamedia

Pembantaian terbesar abad ini di ­Ghouta timur, Suriah, tampaknya akan sulit dihentikan. 
Dalam pertemuan darurat yang dibarengi dengan pemungut­an suara di Dewan Keamanan PBB yang berlangsung Jumat pagi, Rusia menggunakan hak vetonya–yang memuat resolusi soal gencatan ­senjata di kota kecil di dekat Damaskus itu—sehingga resolusi sulit diimplementasikan.
The Guardian melaporkan pada Jumat 23 Februari 2018, Rusia telah memblokade resolusi PBB yang akan mendesak diberlakukannya gencatan senjata 30 hari dan juga pengiriman bantuan kemanusiaan ke Ghouta timur. 
PBB menilai resolusi itu sangat penting dan mendesak karena dalam lima hari korban tewas mencapai hampir 500 orang dan ribuan lainnya terluka. Selain itu, banyak warga mulai kelaparan karena bantuan pangan dari lembaga kemanusiaan sulit masuk ke kawasan tersebut. 
Sementara itu, utusan Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia mengatakan pihaknya menolak menyetujui gencatan senjata di Ghouta timur. 
Vassily menilai opsi gencatan senjata tidak realistis. Pasalnya, di Ghouta terdapat kelompok teroris yang harus diperangi. Pasukan Assad berada di Ghouta, kata Vasiily, untuk meme­ra­ngi kelompok teroris seperti Front Nusra, ISIS, dan Alqaidah. 
Suriah tak bisa menghentikan pertempuran begitu saja karena yang diperangi adalah kelompok ekstremis.
Kesaksian para dokter yang bertugas di Ghouta

“Hari ini, kami menjalani hari-hari terburuk dalam hidup kami di Al-Ghautah,” kata direktur rumah sakit Ghouta Timur, dr. Amani Balour, Rabu lalu, menggambarkan kondisi Ghouta Timur.

Gempuran dan serangan bukan menjadi hal baru bagi Balaour selama lima tahun bertugas di kota tersebut. Namun, serangan yang dimulai pada Ahad itu belum pernah disaksikannya. “Saya belum pernah manyaksikan gempuran sedahsyat ini,” imbuhnya.
Dokter lainnya menggambarkan bahwa yang terjadi di kota yang terkepung sejak 2013 itu merupakanpembantaian terbesar di abad ini. Ia pun menyamakan situasi di Ghouta Timur seperti pembantaian yang pernah terjadi di era 80 dan 90-an.

“Jika pembantaian yang terjadi tahun 1990-an adalah di Srebrenica, dan pembantaian tahun 1080-an di Halabja, Sabra dan Shatila, Ghouta timur adalah pembantaian terbesar yang terjadi abad ini,” kata sumber tersebut seperti dilansir The Guardian.
Ia mengisahkan kejadian yang baru dialaminya, sebelum berbicara kepada The Guardian. 

Di tengah bombardir sengit, datang seorang anak kecil mukanya sudah membiru dan nafasnya tersengal-sengal. Mulutnya penuh debu. Dengan sigap, ia segera mengeluarkan debu-debu tersebut dari mulutnya. Saya, lanjutnya, sudah tidak berpikir apa yang saya kerjakan itu sesuai dengan panduan buku ilmu kedokteran. Paru-paru anak tersebut telah terinfeksi debu. Anak itu ternyata baru selamat dari reruntuhan bangunan yang hancur akibat bom.

Dokter-dokter yang ada di Ghouta Timur sejak Ahad lalu harus bekerja 24 jam untuk mengobati korban luka-luka yang terus berjatuhan. Laporan adanya sejumlah fasilitas medis yang menjadi target serangan udara tak menghentikan mereka melayani pasien.

Dokter Fares Oreiba, yang juga bertugas di Ghouta Timur, mengatakan bahwa sebagian besar korban tewas adalah anak-anak dan perempuan. Dia menggambarkan bahwa yang terjadi di tempatnya bekerja hari ini adalah bencana kemanusiaan.

“Saya dapat memberitahu Anda bahwa situasinya sudah mencapai tahap bencana. Ada empat rumah sakit yang hancur sehingga tidak dapat digunakan lagi untuk membantu warga Ghouta Timur,” katanya kepada CNN melalui sambungan telepon.

Ref//Islamqu/kiblat

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.