Sempurnakan Tauhidmu
Tauhid |
TIADA
TAUHID TANPA MENGKUFURI THAGHUT, MUSLIM WAJIB MENGKUFURI THAGHUT
-
Telah Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah :
“Aku tahu bahwa manusia tidak akan lurus agama dan Islamnya, meskipun ia mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dan meninggalkan kesyirikan, kecuali disertai dengan permusuhan terhadap orang-orang musyrik (Thaghut) dan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka.” [Ad-Duror As- Saniyyah : 8/113]
-
Asas atau fondasi ajaran Islam (Aqidah Islamiyyah) sebagaimana telah kita ketahui bersama adalah kalimat tauhid Laa ilaaha illallah yang di dalamnya berisi an nafyu dan al itsbat.
An-Nafyu artinya meniadakan penghambaan dari setiap ilah-ilah atau rabb-rabb selain Allah, sedangkan al-Itsbat artinya menetapkan penghambaan hanya kepada Allah semata, dengan mengarahkan semua bentuk peribadahan hanya kepada Allah saja.
Yang pertama bermakna mengkufuri thaghut. Sedangkan yang kedua bermakna iman kepada Allah. Firman-Nya dalam al Quran.
“Maka barang siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhny ia telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat.” [QS. Al-Baqarah : 256]
Mengkufuri thaghut didahulukan sebelum menetapkan iman, karena iman tidak pernah akan terealisasi sebelum kita mengosongkan jiwa dari segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya.
Seseorang yang mengaku beriman namun tidak mengkufuri thaghut pada hakikatnya belum beriman, kondisinya tidak jauh berbeda dengan orang yang mengaku mengkufuri thaghut namun menolak penghambaan kepada Allah.
Mengkufuri thaghut dan hanya menghambakan diri kepada Allah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan, karena inilah maksud dari kalimat syahadat yang pertama, Laa ilaaha illallah.
Laa ilaaha berarti mengkufuri thaaghut, dan illallah berarti beriman atau beribadah hanya kepada Allah semata. Dengan ini, sempurnalah tauhidullah seorang muslim.
Ibnu Katsir telah menjelaskan kepada kita tentang tafsir ayat di atas (QS. Al Baqarah : 256). Beliau berkata dalam kitab tafsirnya, “Maksudnya barangsiapa yang meninggalkan tandingan-tandingan, berhala-berhala dan segala sesuatu yang diserukan oleh syaitan untuk disembah selain Allah, lalu ia mentauhidkan Allah dengan hanya menyembah-Nya dan bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang haq kecuali Allah, berarti ia telah seperti yang diungkapkan oleh-Nya “maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada al ‘urwah al wutsqa (buhul tali yang sangat kuat)’ maksudnya ia telah kokoh urusannya dan istiqamah di atas tuntunan yang paling baik dan pada jalan yang lurus.”[1]
Ibnu Katsir juga menjelaskan kepada kita semua dengan mengutip perkataan ‘ulama salaf dalam mendefinisikan al ‘urwah al wutsqa.
Ia berkata, “Mujahid mengatakan bahwa al ‘urwah al wutsqa artinya iman. Menurut As Saddi artinya diinul Islam. Sedangkan menurut Sa’id ibn Jubair dan Add Dhahak adalah kalimat “Laa ilaaha illallah”. Menurut Anas ibn Malik arti al ‘urwah al wutsqa adalah Al Quran.
-
Telah Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah :
“Aku tahu bahwa manusia tidak akan lurus agama dan Islamnya, meskipun ia mentauhidkan Allah subhanahu wata’ala dan meninggalkan kesyirikan, kecuali disertai dengan permusuhan terhadap orang-orang musyrik (Thaghut) dan menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka.” [Ad-Duror As- Saniyyah : 8/113]
-
Asas atau fondasi ajaran Islam (Aqidah Islamiyyah) sebagaimana telah kita ketahui bersama adalah kalimat tauhid Laa ilaaha illallah yang di dalamnya berisi an nafyu dan al itsbat.
An-Nafyu artinya meniadakan penghambaan dari setiap ilah-ilah atau rabb-rabb selain Allah, sedangkan al-Itsbat artinya menetapkan penghambaan hanya kepada Allah semata, dengan mengarahkan semua bentuk peribadahan hanya kepada Allah saja.
Yang pertama bermakna mengkufuri thaghut. Sedangkan yang kedua bermakna iman kepada Allah. Firman-Nya dalam al Quran.
“Maka barang siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhny ia telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat.” [QS. Al-Baqarah : 256]
Mengkufuri thaghut didahulukan sebelum menetapkan iman, karena iman tidak pernah akan terealisasi sebelum kita mengosongkan jiwa dari segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya.
Seseorang yang mengaku beriman namun tidak mengkufuri thaghut pada hakikatnya belum beriman, kondisinya tidak jauh berbeda dengan orang yang mengaku mengkufuri thaghut namun menolak penghambaan kepada Allah.
Mengkufuri thaghut dan hanya menghambakan diri kepada Allah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan, karena inilah maksud dari kalimat syahadat yang pertama, Laa ilaaha illallah.
Laa ilaaha berarti mengkufuri thaaghut, dan illallah berarti beriman atau beribadah hanya kepada Allah semata. Dengan ini, sempurnalah tauhidullah seorang muslim.
Ibnu Katsir telah menjelaskan kepada kita tentang tafsir ayat di atas (QS. Al Baqarah : 256). Beliau berkata dalam kitab tafsirnya, “Maksudnya barangsiapa yang meninggalkan tandingan-tandingan, berhala-berhala dan segala sesuatu yang diserukan oleh syaitan untuk disembah selain Allah, lalu ia mentauhidkan Allah dengan hanya menyembah-Nya dan bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang haq kecuali Allah, berarti ia telah seperti yang diungkapkan oleh-Nya “maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada al ‘urwah al wutsqa (buhul tali yang sangat kuat)’ maksudnya ia telah kokoh urusannya dan istiqamah di atas tuntunan yang paling baik dan pada jalan yang lurus.”[1]
Ibnu Katsir juga menjelaskan kepada kita semua dengan mengutip perkataan ‘ulama salaf dalam mendefinisikan al ‘urwah al wutsqa.
Ia berkata, “Mujahid mengatakan bahwa al ‘urwah al wutsqa artinya iman. Menurut As Saddi artinya diinul Islam. Sedangkan menurut Sa’id ibn Jubair dan Add Dhahak adalah kalimat “Laa ilaaha illallah”. Menurut Anas ibn Malik arti al ‘urwah al wutsqa adalah Al Quran.
Menurut riwayat yang bersumber dari Salim ibn Abul Ja’d, yang dimaksud al ‘urwah al wutsqa adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah. Semua pendapat tersebut benar, satu sama lainnya tidak bertentangan.
Mu’adz ibn Jabal mengatakan sehubungan dengan ayat “yang tidak akan putus”. Bahwa yang dimaksud terputus artinya tidak dapat masuk syurga.”[2]
Dari penjelasan di atas, kita akan mengerti bahwa tidak seorang pun dapat menjadi bagian dari ahli tauhid (muwahhidin) hingga ia memenuhi dua syarat, yakni mengkufuri thaghut dan menyembah hanya kepada Allah saja.
Dengan kata lain, tiada tauhidullah tanpa mengkufuri thaghut. Orang-orang yang belum mengkufuri thaghut, kendati pun ia menyembah Allah dalam shalat, zakat, puasa, serta berbagai bentuk ibadah yang lainnya bukanlah termasuk ke dalam ahli tauhid.
Jika ia bukan termasuk ahli tauhid, maka jelaslah bahwa ia termasuk ke dalam golongan ahli syirik (musyrikin).
Syaikh Muhammad ibn Abdil Wahhab rahimahullah berkata : “Dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun di samping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya.”[3]
Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah ibnu Muhammad rahimahullah mengatakan : “Sesungguhnya ucapan laa ilaaha ilallaah
tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik akbar, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat, berdasarkan ijma’ (para ulama).”[4]
Sesungguhnya Allah telah memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang menjauhi thaghut dan hanya menyembah-Nya saja,
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku.” (Az Zumar : 17)
Hanya kepada ahli tawhid sajalah berita gembira itu disampaikan. Merekalah yang akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan dalam ayat yang lain, Allah menolak keimanan orang-orang yang mengaku muslim, mengaku bertawhid, mengaku beriman kepada-Nya, namun mereka tidak mau mengkufuri thaghut. Firman-Nya,
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS. An Nisa : 60]
Ayat di atas menceritakan sebagian orang yang mengaku beriman, namun mereka hendak berhukum kepada thaghut. Padahal, berhukum adalah salah satu bentuk penghambaan atau penyembahan atau peribadahan yang sudah sepatutnya hanya ditujukan kepada Allah saja, yakni berhukum dengan apa yang diturunkan-Nya (Al Quran dan as Sunnah).
Maka, barangsiapa yang berhukum kepada thaghut, ia sesungguhnya telah melakukan perbuatan syirik akbar yang menyebabkan dirinya keluar dari Islam, sedangkan keimanannya tidak diterima Allah subhanahu wa ta’ala.
Sejak dahulu, Allah telah mengutus para Rasul untuk menyeru manusia kepada tawhid dan meninggalkan kemusyrikan. Firman-Nya,
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.” [QS. An Nahl : 36]
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” [QS. Al Anbiya : 25]
Dua ayat di atas menegaskan bahwa inti da’wah para Nabi dan Rasul adalah mengajak manusia untuk menyembah kepada Allah saja dan menjauhi atau mengkufuri thaghut. Hal ini ditegaskan kembali oleh Allah, bahwa tujuan penciptaan manusia dan jin itu sendiri adalah hanya untuk beribadah kepada-Nya saja, bukan kepada selain-Nya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” [QS. Adz Dzaariyaat : 56]
Oleh karena itu, tiada pilihan lain bagi kita selain melaksanakan perintah-Nya, bertauhid dengan sempurna, karena tidak akan pernah ada iman di dalam dada, kecuali dengan mengkufuri thaghut dan menyembah-Nya saja.
Keduanya wajib dilaksanakan sebagai landasan amaliyah kita. Tanpanya, segala amalan yang kita kerjakan akan sia-sia.
“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, maka hapuslah amalanmu, dan sunguh kamu tergolong orang-orang yang rugi.” [QS. Az Zumar : 65]
“Dan bila mereka berbuat syirik, maka lenyaplah dari mereka apa yang pernah mereka amalkan.” [Al An’am : 88)
Wallahu’alam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar