Iringi Dakwahmu Dengan Senyuman
Adab dalam Dakwah |
Allah memerintahkan kepada
Rasul-Nya untuk menyeru manusia ke jalan Allah dengan cara yang penuh hikmah
dan bijaksana.
Di dalam ayat disebutkan :
ادْعُ إِلَى
سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya : ”Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu. Dia-lah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya. dan Dia-lah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl [16]: 125).
Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa menyeru atau berdakwah dengan hikmah adalah dengan perkataan
yang jelas dan tegas disertai dengan dalil yang dapat mempertegas kebenaran,
dan dapat menghilangkan keraguan.
Dakwah dengan hikmah juga bermakna
mengajak dengan ilmu pengetahuan yang berkenan dan bemanfaat, pandai memilih
bahan-bahan pelajaran agama yang sesuai dengan kemampuan daya tangkap jiwa
mereka yang diajak, uraian menyentuh jiwa, sehingga tidak merasa berat dalam
menerimanya.
Selanjutnya, jika pun dalam dakwah
itu butuh adanya perdebatan dan
bantahan, maka hendaknya dilakukan dengan cara yang baik, yaitu dengan lemah
lembut, tutur kata yang baik, serta cara yang bijak.
Senada dengan ayat tersebut, Allah
berfirman:
وَلا تُجَادِلُوا
أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
Artinya : “Dan janganlah kalian
berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali
dengan orang-orang zalim di antara mereka,” (QS Al-‘Ankabut : 46).
Begitulah, Allah memerintahkan Nabi
untuk bersikap lemah lembut. Ini sama ketika Allah memerintahkan kepada Musa
dan Harun untuk memberikan peringatan kepada Fir’aun, melalui firman-Nya:
فَقُولا لَهُ قَوْلا
لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Artnya: “Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut.” (QS Thaha : 44).
Adapun hasil dakwah, baik mengingatkan
sesama umat sesama maupun memperingatkan kaum yang ingkar, terserah kepada
Allah.
Allah menyebutkan pada ayat:
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ
أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu,
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya.” (QS
An-Nahl : 125).
Menjadi hak Allah yang Maha Mengetahui
siapa yang celaka dan siapa yang bahagia di antara mereka, dan hal itu telah
tercatat di sisi-Nya.
Sehingga kewajiban berdakwah manakala
dianggap belum memberikan hasil. Maka itu tidak perlu membuat rasa kecewa dan bersedih
hati. Sebab sesungguhnya bukanlah tugas
manusia memberi mereka hidayah atau petunjuk. Hatta seorang Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun tak mampu memberikan hidayah kepada pamannya
sendiri, AbuThalb. Juga kaum kerabatnya seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan
sebagainya.
Begitulah, tugas seorang Muslim
hanyalah menyampaikan, tapi itu pun dengan cara yang penuh hikmah dan pelajaran
yang baik. Tidak dengan amarah, hardikan, ujaran kebencian, cacian apalagi
laknatan, paksaan dan kekerasan.
Pada ayat lain disebutkan:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي
مَنْ أَحْبَبْتَ
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi.” (QS Al-Qashash : 56).
Juga disebutkan pada ayat lainnya:
لَيْسَ عَلَيْكَ
هُدَاهُمْ
Artinya: “Bukanlah kewajibanmu
menjadikan mereka mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah : 272).
Terlebih lagi jika harus melakukan
perdebatan, diskusi atau dialog interakif, dengan non-Muslim sekalipun, apalagi
sesama Muslim, maka penyampaiannya pun hendaknya dengan sopan, disertai argumen
yang benar, penuh motivasi, mencerahkan, memberikan semangat dan menggugah,
serta menghargai pendapat pihak lain, tidak dengan emosional,.
Dakwah dengan Hikmah
Imam Ibnu Jarir menyebutkan bahwa
maksud dari dakwah dengan hikmah adalah menyeru harus disertai dengan petunjuk
Allah,yang tertera di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sehingga dengan hikmah itu
menghilangkan keraguan ataupun kesamaran orang yang diajak. Jika berargumentasi
ingin menang sendiri, meniadakan pendapat pikiran lain, bahwa orang lain juga
berhak berpendapat dan berkeyakinan. Apalagi kalau yang didikusikan itu soal
sosial, pendidikan, bahasa dan sejenisnya. Benar-benar harus terbuka ruang
dengar pendapat pihak lain. Apalagi ini bukan kebenaran mutlak.
Para ulama ahli tafsir saja menghargai
tafsir ulama lainnya. Para imam mazhab saja menghomati pendapat imam yang lain.
Kini dapatlah difahami bahwa al-hikmah
itu adalah kemampuan da’i dalam memilih dan menyelaraskan teknik (metodologi)
dakwah dengan kondisi objektif orang yang diajak (mad’u). Al-hikmah juga
merupakan kemampuan da’i dalam menjelaskan syariat Islam serta realitas yang
ada dengan argumentasi yang logis dan bahasa yang komunikatif.
Bil hikmah disejajarkan dengan
mau’udzah hasanah, yakni mengandung makna dakwah hendaknya berisi nasihat,
bimbingan dan pengajaran, kisah-kisah untuk pembelajaran, kabar gembira dan
peringatan serta pesan-pesan positif.
Imam Al-Nasafi memberikan penjabaran
etika dakwah dalam arti, jika harus berbantahan pun mestilah dengan jalan
sebaik-baiknya, dengan perkataan yang lunak, baik lisan ataupun tulisan, lemah
lembut, menggunakan perkataan yang bisa menyadarkan hati, membangunkan jiwa dan
menerangi akal pikiran.
Dakwah yang disampaikan juga tidak dengan perkataan yang kasar, menghujat
apalagi menggugat, tidak menunjukkan kesombongan, meremehkan orang lain, tidak
diiringi dengan kebencian (hasud), tidak mengadu domba serta tidak mencela
pendapat orang lain.
Oleh : Ali Farkhan Tsani,
Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar