Menapaki Jalan Taubat
Menapaki Jalan Taubat |
Siapa di antara kita yang tidak
pernah berbuat dosa? Tentu hampir semua dari kita pernah berbuat dosa. Baik
dosa besar atau dosa kecil. Sebab kekhilafan dan kesalahan laiknya kerikil dan
lubang di jalan kehidupan yang kita lalui. Terkadang maksud hati ingin
menghindari, tapi tak dinyana kaki malah tergelincir dan terperosok dalam
lubang. Mencoba berusaha cermat meniti jalan, namun tetap saja tanpa disadari
kaki tengah atau telah menginjak lubang kesalahan.
Oleh
karenanya taubat adalah keharusan. Sebab manusia tak luput dari dosa.
Seandainya terbebas dari maksiat dari dosa anggota tubuh, maka belum tentu
dapat lepas dari dosa hati. Pun, ketika terbebas dari dosa hati maka belum
tentu luput dari gangguan setan yang menjauhkan dari dzikir kepada Allah.
Karena kita lebih sering lalai.
Taubat
adalah pilihan
Menyadari
hal itu tentu saja taubat adalah pilihan bagi yang telah berbuat dosa. Adalah
suatu kemustahilan manusia terbebas dari dosa. Manusia yang baik bukanlah yang
tak pernah berbuat dosa. Sebab dia dapat terjatuh kepada dosa yang lebih besar
yakni ujub ( sombong ) karena “merasa” bebas dari dosa.
Padahal
ujub sendiri merupakan dosa yang tak kalah besar. Bahkan dosa inilah yang
menjadikan iblis dikeluarkan dari jannah dan membuatnya enggan bertaubat.
Berbeda dengan Adam. Dia memang melakukan dosa besar karena telah menerjang larangan
Allah. Namun dia menyadari dosa yang telah dilakukan dan bertaubat.
Sebenarnya,
di kehidupan ini ada dua tipe makhluk Allah. Mereka yang mau bertaubat dan
mereka yang dzalim. Siapapun yang tidak mau bertaubat maka dia orang yang
dzalim. Meskipun dia banyak berbuat baik. Dia dikatakan dzalim karena
pandangannya yang picik, tidak mau mengakui kesalahan-kesalahannya. Oleh
karenanya Rasulullah ` mengingatkan:
“Setiap anak Adam pasti bersalah
dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.” (H.R.
Ibnu Majah, al Albani mengatakan sebagai hadits hasan)
Tak
cukup istighfar
Pada
dasarnya istighfar merupakan ungkapan pengakuan dosa. Ketika seseorang
mengucapkan istighfar maka dia mengakui bahwa dirinya telah melakukan dosa dan
dia meminta ampun kepada Allah. Namun, tak semua dosa yang dilakukan cukup
hanya mengucapkan istighfar.
Ketika
seseorang betul-betul berniat bertaubat dengan sebetul-betulnya maka ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Di antaranya:
1.
Berhenti dari dosa itu
Taubat
nasuha tidak hanya dengan ucapan “aku bertaubat” tapi tetap saja enjoy dengan
dosa. Sebab, taubat yang hanya di lisan tanpa diikuti dengan meninggalkan dosa
adalah taubatnya pendusta. Fudhail bin Iyadh berkata: “Istighfar tanpa memutus
diri dari maksiat adalah taubatnya para pendusta.”
2. Menyesal atas dosa yang dilakukan
Rasa
menyesal harus hadir dalam diri kita, karena Taubat yang di ikuti dengan rasa
penyesalan terhadap dosa – dosa akan membuat Taubat kita diterima oleh Alloh
SWT.
Bukan justru sebaliknya yakni
berbangga diri atas dosa yang pernah dilakukan.
Rasulullah ` bersabda:
“Semua umatku diampuni kecuali
Mujahirin (yang melakukan dosa terang-terangan). Termasuk mujaharoh (perbuatan
dosa terang-terangan) adalah seorang laki-laki yang melakukan dosa di malam
hari. Kemudian memasuki pagi hari dia berkata ya fulan, tadi malam aku
melakukan perbuatan begini… dan begini….. Padahal Allah telah menutup dosanya,
namun di pagi hari dia menyingkap tabir Allah tersebut.” (H.R.
Bukhori)
3.
Bertekad untuk tidak mengulangi
Inilah
syarat ketiga yang harus dilalui bagi mereka yang bertaubat. Tekad baja untuk
menjauhi dosa haruslah terpatri kuat di dalam dada. Tentu saja juga dengan
menjauhi semua wasilah yang dapat menghantarkan kepada dosa tersebut.
4.
Apabila berkaitan dengan hak adami maka meminta kehalalannya
Suatu
ketika imam Ahmad ditanya oleh putranya tentang seorang yang mengkhianati harta
orang lain. Kemudian dia menginfakkannya dan menghabiskannya. Selang beberapa
lama, diapun menyesali perbuatannya tersebut. Akan tetapi dia sudah tidak
memiliki apa-apa lagi. Dalam keadaan seperti ini apakah apabila dia mati akan
terbebas dari tanggungan? Maka imam Ahmad pun menjawab: “Laki-laki tersebut
harus memenuhi hak orang tersebut dan apabila dia mati maka dia memiliki
tanggungan atasnya.”
Begitu
pula seseorang yang ingin bertaubat dari dosa ghibah. Dia tidak cukup dengan
bertaubat kepada Allah. Namun juga meminta kehalalan ataupun meminta maaf
kepada orang yang dighibah.
Ref :Oaseimani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar