Anis - Sandi " GILA "
Anis - Sandi |
*Anies-Sandi GILA !!!*
Anies Ditekan, Anies Melawan
Dimanapun negara, pasti berat bila berseberangan dengan penguasa
dan taipan. Berani dikit, posisi bisa dilengserkan. Apalagi kalau salah kelola anggaran, atau main
perempuan. Tak jarang ada yang dibiarkan jadi “sandra” atau malah “tahanan”.
Kadang-kadang tanpa proses persidangan. Alasannya: makar dan negara terancam.
“Klise”. Apalagi kalau bawa-bawa istilah anti pancasila dan anti kebhinekaan,
makin sempurnalah sebuah tuduhan.
Ketua-ketua partai dan para
pimpinan daerah seringkali tak luput dari bidikan. Sikap represif ini ada sejak
zaman Orla, Orba, dan sampai sekarang secara turun temurun diwariskan. Hanya
beda kadar dan ukuran. Ada yang sembunyi-sembunyi dengan beragam kemasan, ada
pula yang terang-terangan. Malah ada yang cenderung dipertontonkan.
Apakah tindakan represif ini juga
dirasakan Gubernur dan Wagub DKI, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Shalahudin
Uno?
Kabar yang banyak beredar, Anies
juga sering jadi target dan pernah ditekan. Anies takut? Semula memang banyak
pihak meragukan. Anies dianggap tak punya ketegasan, apalagi berada di bawah
ancaman. Lelaki yang dibesarkan di Jogja dengan tata krama dan sopan santun ala
Jawa ini tak punya wajah garang. Dibanding gubernur sebelumnya, tentu kalah
seram. Vokal suaranya tak lantang. Lebih nampak sebagai pemikir yang mengumbar
senyuman.
Setelah Anies tutup Alexis,
masyarakat mulai bimbang: punya nyali juga rupanya. Tidak disangka, sikap
pendiam rupanya menghanyutkan. Sampai disini Anies mulai melakukan pembuktian.
Orang belum yakin sepenuhnya. Publik pun menunjukkan, di luar Alexis, ada
Alexis-Alexis lain yang harus diburu dan dibekukan. Publik berharap Anies-Sandi
bisa membuktikannya lagi. Jika tidak, maka publik akan bilang: itu cuma
pencitraan.
Memang, sebagian orang masih
bilang: itu pencitraan. Terutama mereka yang belum bisa “move on” dari
kekalahan. Ini biasa, wajar dan harus dimaklumi. Dalam politik ada luka. Tidak
setiap luka bisa cepat untuk disembuhkan. Apalagi, setiap orang juga berbeda
dalam membuat ukuran kepercayaan. Mereka mesti dirangkul dan diberi pengertian.
Di tengah keraguan sebagian
orang, Anies kembali membuat kejutaan. Kali ini, giliran lahan R.S. Sumber
Waras. BPK mencatat, transaksi pembelian lahan ini terbukti merugikan. Negara
kehilangan 191,33 milyar. Lumayan besar. Sempat Ahok dan sejumlah orang
dipanggil KPK. Habis itu, kasus seolah dilupakan. Jejaknya lenyap dari berita
media. Publik sempat curiga: ada kekuatan yang sedang mengendalikan. BPK tidak
mungkin salah.
KPK berdalih: tak ada niat jahat
di kasus ini. Publik makin curiga. Bagaimana tidak ada niat jahat, sementara
pembayaran dilakukan secara cash. Ratusan milyar cash? Aneh! Ada suatu
keganjilan. Gegara kasus ini, Kredibiltas KPK mulai dipertanyakan. Masyarakat
bilang: KPK masuk perangkap permainan.
Untuk efektifitas pencegahan dan
pemberantasan korupsi, Anies membentuk KPK sendiri, KPK DKI. Hanya mirip fungsi
dengan KPK yang sudah ada, tapi beda wewenang. Bersama KPK DKI yang baru ini,
Anies minta Wagub menuntaskan kasus jual beli lahan Sumber Waras. Harus tetap
diusut dan dituntaskan. Bambang Widjajanto, mantan wakil ketua KPK, dan
Ogoeseno, bekas wakapolri ini bersama timnya mendapat tugas untuk mendampingi.
Dengan melibatkan tim hukum ini, Anies nampak punya keseriusan dalam menangani
permasalah korupsi di DKI.
Pihak Sumber Waras diberi dua
pilihan: kembalikan 191,33 milyar ke negara, atau jual beli dibatalkan. Yayasan
Kesehatan Sumber Waras (YKSW) sebagai penjual lahan berdalih: tak ada dasar
untuk mengembalikan. Jika demikian, opsinya adalah pembatalan.
Veronica Tan, istri Ahok yang
diduga terlibat keburu mau diceraikan. Adakah hubungannya? Ahli hukum Djoko Edy
Abdurrahman, wasek LPBH PBNU sudah mulai mengkait-kaitkan. Tulisannya yang
viral di medsos (jika benar) berupaya membuat logika kausalitasnya. Sangat
“tidak etis” dibicarakan jika memang tidak ada kaitan. Tapi, posisi Veronika
Tan adalah ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah DKI saat itu. Oleh KPK
dianggap ikut terlibat dalam proses jual beli lahan R.S Sumber Waras. Faktor
ini yang mendorong orang lalu mengkait-kaitkan.
Kasus Sumber Waras sedang dalam
proses untuk diselesaikan, Anies lagi-lagi membuat kebijakan mengagetkan: Hak
Guna Bangunan (HGB) pulau reklamasi dibatalkan. Semua surat pengajuan ke BPN
ditarik kembali. Segala bentuk pembangunan dan kegiatan apapun harus
dihentikan. Apa dasarnya? Prosedur penerbitan HGB telah menabrak banyak aturan.
Perda belum jadi, HGB sudah diterbitkan. Khususnya pulau D, HGB terbit sehari
setelah pengukuran. Pulau seluas 483,6 ha diukur tanggal 23 Agustus 2017,
tanggal 24 sudah diterbitkan. Ini sungguh keterlaluan.
Pembatalan HGB berlaku untuk
semua pulau B,C,D dan G. Publik tak menyangka Anies berani melakukan itu. Gila!
Dengan begitu Anies mesti siap-siap berhadapan dengan sejumlah taipan, termasuk
Aguan.
Di mata publik, keberanian ini
memberi kredit poin kepada Gubernur dan Wagub baru ini. Pasalnya, nyali ini
dibuktikan berani berhadapan dengan taipan yang selama ini dicurigai menjadi
bohir di balik kekuasaan. Saat LBP dikonfirmasi media, ia menjawab: itu hak
Gubernur Jakarta. Luhut tak segarang sebelumnya.
Dirunut dari sejarah awalnya,
reklamasi adalah proyek lama. Pergub pertama dibuat oleh gubernur Jokowi. Lalu
dimulai pembangunan saat Ahok jadi gubernur menggantikan Jokowi. Banyak protes,
tapi tak digubris. Tangan-tangan kekuasaan diduga “back up” di belakang.
Saat Rizal Ramli diangkat jadi
menko maritim, moratorium dibuat. Kesimpulannya: banyak masalah dan berdampak
besar jika reklamasi diteruskan. Tak lama kemudian, sang menteri dipecat dan
diganti Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, moratorium dibatalkan. Dengan bersemangat
menko maritim yang baru ini bilang: reklamasi dilanjutkan.
Beberapa hari sebelum Anies-Sandi
dilantik, rancangan perda reklamasi sudah diajukan ke DPRD. Saat itu, Djarot
Saiful Hidayat gubernurnya. Salah seorang menteri pun kabarnya memanggil
Sandiaga Uno dan memberi ancaman. Sang menteri akan mencari-cari kesalahan jika
Sandi berani hentikan reklamasi. Sandi gentar? Rupanya tidak.
Belum sempat perda reklamasi itu
disahkan, Anies-Sandi buru-buru menghentikan. Keputusan diambil tak lama
setelah pelantikan. Ancaman diabaikan. Sang menteri tak berkutik dan diam.
Memang, proses ini cukup dramatis dan menegangkan.
Sampai di sini, rasanya tidak
bijak jika ada yang masih menyebut pencitraan. Beda pembuktian dengan
pencitraan. Pencitraan itu cirinya: pertama, ada kesan dibuat-buat dan penuh
kepura-puraan. Yang terlihat berbeda dari yang sebenarnya. Tak sama antara
panggung depan dengan panggung belakang. Berita media jauh beda dengan
kenyataan.
Kedua, ujung-ujungnya tidak ada
pembuktian. Karena itu bukan program, tapi branding dan jualan. Hanya sekedar
untuk iklan dan magnet mendatangkan pujian. Rakyat mesti peka: mana janji, mana
bukti. Ini bisa jadi alat ukur melihat pemimpin dan penguasa.
Ketiga, biasanya berkaitan dengan
hal-hal kecil, remeh temeh, dan sederhana. Blusukan, cara berpakaian, tampil
sederhana untuk iklan kebersahajaan. Atau sekedar marah-marah dan gebrak meja.
Semua hal tak penting yang kira-kira bisa jadi magnet perhatian. Itu namanya
pencitraan.
Banyak orang tertipu dan jadi
korban pemimpin yang hanya sibuk membuat pencitraan. Di media bilang A, di
lapangan melakukan B. Saatnya rakyat mesti dicerdaskan. Rasio dan bukti mesti
diutamakan. Anies-Sandi punya tugas untuk itu.
Pembatalan reklamasi adalah
keputusan berisiko, apalagi sampai adu nyali lawan taipan, bahkan kekuasaan.
Hanya “orang gila” yang melakukan ini untuk bermain-main dengan pencitraan.
Rupanya, Anies memang tidak bisa
diancam. Semakin ia ditekan, semakin ia melawan. Begitu pula dengan Sandi.
Beginilah mestinya keberanian seorang pemimpin, bukan cari pencitraan, tapi
sibuk membuktikan. Soal ini, Anies bisa jadi inspirasi dan panutan.
Jakarta, 10/1/2018
Tony Rosyid adalah Pengamat
Politik
(Direktur Graha Insan Cendikia dan Ketua FASS Jabodetabek)
(Direktur Graha Insan Cendikia dan Ketua FASS Jabodetabek)
*Ayo SEBARKAN Info BERMANFAAT Ini* 🙋🏻🙋🏻♂🙋
*Admin
Jasmed'*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar