Berdakwah Kepada Teman
Dakwahi Teman Mu |
Siapa mengira, Al Fudhail bin Iyadh
yang kita kenal sebagai seorang hamba yang shalih dan tokoh teladan bagi umat,
dahulunya adalah seorang perampok jalanan yang banyak ditakuti orang. Lalu
beliau terketuk hatinya dan mendapat hidayah tatkala mendengar percakapan dua
saudagar yang tengah takut kepadanya.
Tak kenalkah dengan Salman Al Farisi? Dahulunya beliau adalah
seorang Majusi kemudian beliau mendapatkan hidayah tatkala melihat orang muslim
yang sedang shalat di gereja. Dan banyak dari kaum muslimin di zaman Nabi yang
berbondong-bondong masuk Islam tidak lain karena mulianya dakwah beliau.
Ketika
seseorang hendak memberikan nasehat hendaklah memperhatikan adab-adabnya karena
adab tersebut sangat menentukan diterima atau tidaknya nasehat. Beberapa adab
yang perlu diperhatikan adalah:
1.
Mengharapkan ridha Allah Ta’ala
Seorang
yang ingin menasehati hendaklah meniatkan nasehatnya semata-semata untuk
mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Karena hanya dengan maksud inilah dia berhak
atas pahala dan ganjaran dari Allah Ta’ala di samping berhak untuk diterima
nasehatnya. Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya dan
sesungguhnya setiap orang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang
diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka
hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya
karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya,
maka (hakikat) hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”(HR.
Bukhari dan Muslim)
2. Tidak dalam rangka mempermalukan
orang yang dinasehati
Seseorang yang hendak
memberikan nasihat harus berusaha untuk tidak mempermalukan orang yang hendak
dinasehati. Ini adalah musibah yang sering terjadi pada kebanyakan orang, saat
dia memberikan nasihat dengan nada yang kasar. Cara seperti ini bisa berbuah
buruk atau memperparah keadaan. Dan nasehatpun tak berbuah sebagaimana yang
diharapkan.
3. Menasehati secara rahasia
Nasihat disampaikan
dengan terang-terangan ketika hendak menasehati orang banyak seperti ketika
menyampaikan ceramah. Namun kadangkala nasehat harus disampaikan secara rahasia
kepada seseorang yang membutuhkan penyempurnaan atas kesalahannya. Dan umumnya
seseorang hanya bisa menerimanya saat dia sendirian dan suasana hatinya baik.
Itulah saat yang tepat untuk menasehati secara rahasia, tidak di depan publik.
Sebagus apapun nasehat seseorang namun jika disampaikan di tempat yang tidak
tepat dan dalam suasana hati yang sedang marah maka nasehat tersebut hanya
bagaikan asap yang mengepul dan seketika menghilang tanpa bekas.
Al Hafizh Ibnu Rajab
berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka
mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya
berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan
orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77)
4. Menasehati
dengan lembut, sopan, dan penuh kasih
Seseorang yang hendak
memberikan nasehat haruslah bersikap lembut, sensitif, dan beradab di dalam
menyampaikan nasehat. Sesungguhnya menerima nasehat itu diperumpamakan seperti
membuka pintu. Pintu tak akan terbuka kecuali dibuka dengan kunci yang tepat.
Seseorang yang hendak dinasehati adalah seorang pemilik hati yang sedang
terkunci dari suatu perkara, jika perkara itu yang diperintahkan Allah maka dia
tidak melaksanakannya atau jika perkara itu termasuk larangan Allah maka ia
melanggarnya.
Oleh karena itu, harus
ditemukan kunci untuk membuka hati yang tertutup. Tidak ada kunci yang lebih
baik dan lebih tepat kecuali nasehat yang disampaikan dengan lemah lembut,
diutarakan dengan beradab, dan dengan ucapan yang penuh dengan kasih sayang.
Bagaimana tidak, sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ
يَكُونُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
Artinya, “Setiap sikap kelembutan yang ada pada sesuatu, pasti akan
menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya.
(HR. Muslim)
5. Tidak
memaksakan kehendak
Salah satu kewajiban
seorang mukmin adalah menasehati saudaranya tatkala melakukan keburukan. Namun
dia tidak berkewajiban untuk memaksanya mengikuti nasehatnya. Sebab, itu
bukanlah bagiannya. Seorang pemberi nasehat hanyalah seseorang yang menunjukkan
jalan, bukan seseorang yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya. Ibnu
Hazm Azh Zhahiri mengatakan: “Janganlah kamu memberi nasehat dengan
mensyaratkan nasehatmu harus diterima. Jika kamu melanggar batas ini, maka kamu
adalah seorang yang zhalim…” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)
6. Mencari waktu yang tepat
Tidak setiap saat orang
yang hendak dinasehati itu siap untuk menerima petuah. Adakalanya jiwanya
sedang gundah, marah, sedih, atau hal lain yang membuatnya menolak nasehat
tersebut. Ibnu Mas’ud pernah bertutur: “Sesungguhnya adakalanya hati
bersemangat dan mudah menerima, dan adakalanya hati lesu dan mudah menolak.
Maka ajaklah hati saat dia bersemangat dan mudah menerima dan tinggalkanlah
saat dia malas dan mudah menolak.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Jika seseorang ternyata
tak bisa menasehati dengan baik maka dianjurkan untuk diam dan hal itu lebih
baik karena akan lebih menjaga dari perkataan-perkataan yang akan memperburuk
keadaan dan dia bisa meminta tolong temannya agar menasehati orang yang
dimaksudkan. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
hendaklah berkata yang baik atau diam…”(HR. Bukhari dan Muslim)
Jangan pernah putus asa
untuk memohon pertolongan Allah karena pada hakekatnya Allah-lah Yang Maha
Membolak-balikkan hati seseorang. Meski sekeras apapun hati seseorang namun
tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak untuk melembutkan hatinya dan
menunjukkan kepada jalan-Nya. Wallaahu Musta’an.
ref//muslimah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar