Yunani Berlakukan Syari'at Islam Sebagai Hukum Alternatif
Ilustrasi |
Parlemen Yunani hari Selasa (09/01/2018) telah menyetujui hukum
Islam (syariah Islam) sebagai alternaif dalam penyelesaiakan sengketa keluarga bagi
minoritas Muslim, mengubah peraturan yang telah berlaku selama satu abad.
Perdana
Menteri Yunani yang beraliran kiri Alexis Tsipras menyebut keputusan DPR itu
sebagai “langkah bersejarah” karena “memperluas kesetaraan di muka hukum bagi
semua orang Yunani” demikian dikutip Agence France-Presse (AFP),
Selasa, (10/01/2018).
RUU
itu akan memungkinkan warga Muslim memilih pengadilan Yunani untuk
menyelesaikan perselisihan keluarga daripada meminta keputusan ahli hukum Islam
yang dikenal sebagai mufti.
Dengan
undang-undang ini, akan memungkinkan minoritas Muslim pergi ke pengadilan
Yunani untuk mendapatkan keputusan hokum seperti; perceraian, hak asuh anak dan
masalah warisan, daripada meminta ahli hukum Islam yang dikenal sebagai mufti,
yang selalu dicurigai Kelompok HAM mendiskriminasi perempuan.
Masalah ini berawal pada periode setelah Perang Dunia I, dan
perjanjian antara Yunani dan Turki setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman
(Khilafah Ustmaniyah).
Dalam
perjanjian tersebut terjadi pertukaran populasi sekitar 2 juta orang antara
Turki dan Yunani, kecuali di beberapa pulau Aegea, komunitas Ortodoks Yunani di
Istanbul dan sebagian besar komunitas Muslim berbahasa Turki di Trakia Barat.
Perjanjian
Sevres tahun 1920 dan Perjanjian Lausanne tahun 1923 menetapkan bahwa hukum
Islam dan hukum agama Islam berlaku bagi ribuan umat Islam yang tiba-tiba
menjadi warga negara Yunani, tulis AFP.
Berdasarkan
perjanjian itu, orang-orang Ortodoks Yunani dan umat Muslim diberi hak
minoritas dalah hal bahasa, budaya dan agama. Tapi, Muslim di Yunani diatur di
bawah hukum Islam, sementara Turki berada di bawah sistem hukum sekuler
Republik Turki.
Sekitar
110.000 minoritas Muslim Yunani tinggal di Thrace, daerah pedesaan miskin di
timur laut yang berbatasan dengan Turki.
Muslim
yang tinggal di sudut timur laut Yunani — dekat perbatasan dengan Turki —
sebagian besar adalah etnis Turki, meskipun ada juga yang etnis Pomak (Muslim
Slavia yang tinggal di wilayah Bulgaria, Yunani timur laut dan Turki barat
laut).
Yunani
enggan mengubah undang-undang yang mengurusi masalah keluarga Muslim, karena
dikhawatirkan Turki meminta Perjanjian Lausanne diubah.
Kasus
ini saat Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) berencana menggelar
sebuah gugatan yang diajukan terhadap Yunani oleh seorang janda berusia 67
tahun, Hatijah Molla Salli, yang terlibat sengketa warisan dengan saudara
perempuan mendiang suaminya, yang dikhawatirkan justru mempermalukan pemerintah
Yunani.
Ketika Salli mengajukan permohonan banding pada pengadilan
sekuler Yunani, ia awalnya menang. Tapi Mahkamah Agung Yunani pada tahun 2013
memutuskan bahwa hanya seorang mufti yang berkuasa untuk menyelesaikan hak-hak
waris Muslim.
“Pemerintah
hanya bertindak untuk mencegah penghukuman oleh pengadilan, sebagaimana yang
kita ketahui, tidak bisa dihindari,” kata pengacara Salli Yannis Ktistakis
kepada AFP pada
bulan November lalu.
“Sebagai
salah satu negara Uni Eropa, ini tidak berlaku bagi kita,” kata Perdana Menteri
Tsipras saat itu.
Turki
menaruh perhatian besar pada komunitas Muslim – yang dianggapnya sebagai warga
Turki, meskipun juga mencakup warga Pomaks dan orang-orang gipsi – dan sering
menyampaikan berbagai keluhan mereka kepada Yunani. Tapi Yunani menganggap
Turki mencampuri urusan dalam negerinya.
Yunani
mengakui Islam yang dikhotbahkan oleh Mufti Thrace umumnya lebih moderat
dibananding di tempat lain di Eropa.*
Sumber : Hidayatulloh.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar