Breaking

Kontribusi dalam Perjuangan

Membantu Perjuangan
Allah -Subhanahu wa ta’ala– telah menjanjikan kemenangan bagi umat-Nya. Hal itu telah terpampang jelas di dalam firman-Nya. Kemenangan yang dijanjikan Allah tidak turun secara tetiba. Walaupun itu bisa juga terjadi jika Allah menghendaki karena Dia-lah Sang Maha Kuasa. Kemenangan-kemenangan yang Dia janjikan membutuhkan pengorbanan. Karena itulah cara Dia memilah hamba-Nya yang memang jujur dengan keimanannya dengan hamba yang larut dalam kepura-puraan.

Pengorbanan demi pengorbanan para pendahulu kita kiranya cukup menjadi teladan bagi umat masa kini. Bagaimana seorang saudagar kaya seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq -Radhiyallahu ‘anhu– menginfakkan seluruh kekayaanya untuk jihad fi Sabililah. Bagaimana seorang Shuhaib Ar-Rumi meninggalkan seluruh kekayaannya di Makkah untuk berhijrah ke Madinah untuk bergabung bersama Rasulullah. Dan bagaimana sepupu Rasulullah, Ja’far bin Abi Thalib rela mempertahankan panji Islam di saat tangannya satu per satu putus pada saat perang Mu’tah. Pada akhirnya ia syahid di jalan jihad fi sabililah.

Kontribusi Perjuangan Adalah Konsekunsi Keimanan

Berkontribusi dalam perjuangan adalah konsekuensi keimanan. Apalah arti sebuah keimanan jika hati beku melihat Al-Quds, kiblat pertama umat Islam diklaim sebagai ibukota penjajah Israel. Apalah arti keimanan jika diam saja ketika melihat Al-Quran dihinakan atau bahkan mencela saudaranya yang membela kehormatan Al-Quran. Apalah arti keimanan jika masih bisa tertawa riang gembira di saat saudaranya di belahan bumi lain menangis  meronta karena teraniaya. Dan apalah arti keimanan jika harta hanya ditumpuk ketika kaum muslimin membutuhkan untuk kelangsungan kehidupannya.

Tentu kisah dalam firman Allah ini mampu membukakan mata hati kita. Allah berfirman

وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ

Artinya, “Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Firaun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu”. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Ghafir : 28)
Ayat ini berkisah tentang seorang lelaki pengikut Fir’aun dari kalangan Koptik. Ia menyembunyikan keimanannya hingga suatu hari ia menerima dakwah Musa dan membelanya.  Ia menampakkan keimanannya ketika Fir’aun mengatakan,”Biarkanlah aku membunuh Musa.” (QS.Ghafir:26)

Ghirah dalam hati lelaki itu tergugah. Kemarahan pun menggejolak karena Allah -Subhanahu wa Ta’la–. Ia melakukan jihad yang paling utama dengan mengatakan kalimat keadilan di hadapan penguasa zalim. Dan tidak ada perkataan yang lebih besar daripada kalimat ini :

 أَتَقْتُلُونَ رَجُلا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ

“Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah.”

وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ

“Padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu.”

Lelaki dari bangsa Koptik ini memberi contoh bagaimana berkontribusi dalam amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa dan melindungi nabi Allah meski dalam kondisi takut menampakkan keimanan. Hal senada juga pernah terjadi pada zaman Rasulullah. Dalam Tarikh Khulafa disebutkan ketika Rasulullah disiksa orang-orang Quraisy, ada yang mencegahnya dengan spontan, ada pula yang menggoyang-goyangkan badannya dari tempat dimana dia duduk. Mereka berkata,”Engkau yang menjadikan tuhan yang banyak itu menjadi satu tuhan?”. Tidak ada seorang pun yang berani mendekati Rasul kecuali Abu Bakar, dia memukul satu orang di antara mereka, menggoyang yang lain sambil berkata,”Celaka kalian semua!!! Apakah kalian akan membunuh orang yang mengatakan Tuhanku adalah Allah?”

Kemudian Ali bin Abi Thalib mengangkat selendang yang dia pakai dan menangis hingga air matanya melinangi jenggotnya. Kemudian dia berkata,”Semoga Allah selalu menjadikan kalian sehat dan semangat, apakah seorang mukmin di zaman Fir’aun (yang mengatakan perkataan yang sama) lebih baik ataukah Abu Bakar?Orang-orang pada terdiam.”
Dia melanjutkan,”Tidakkah kalian menjawab yang saya tanyakan? Demi Allah, sesunggunya satu jam dari waktu Abu Bakar jauh lebih baik dari seribu jam orang mukmin yang ada di masa Fir’aun. Orang itu menyembunyikan keimanannya, sedangkan Abu Bakar menyatakan dengan terang-terangan keimanannya.”


Sumber : Kiblat.net

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.