Konspirasi Global LGBT Mengancam Indonesia
Bahaya LGBT |
Diskursus seputar Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
(LGBT), mencuat kembali paska munculnya perbedaan pendapat (dissenting opinion
)di kalangan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tentang LGBT. Mahkamah Konstitusi
(MK) menolak gugatan uji materi pasal kitab undang-undang hukum pidana tentang
zina dan hubungan sesama jenis, Kamis (14/12). Dalam pertimbangannya, hakim
menyatakan ketentuan tersebut telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (www.cnnindonesia.com, 14/12/2017).
Terlepas dari
pro dan kontra di kalangan Hakim MK, ada bahaya serius yang mengancam sosial
budaya dan eksistensi keluarga. Hal ini perlu dipahami oleh seluruh masyarakat
Indonesia, bukan sekedar persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Bahaya yang
ditimbulkan oleh kaum LGBT ini antara lain: Pertama, bahaya dari segi
kesehatan, Kedua, bahaya dari segi perilaku, dan Ketiga, bahaya konspirasi
global/serangan budaya.
1.
Bahaya kesehatan
Data dari CDC
(Centers for Disease Control and Prevention) AS pada tahun 2010 menunjukkan
dari 50 ribu infeksi HIV baru, dua pertiganya adalah gay-MSM (male sex male/laki-laki berhubungan
sek dengan laki). Data pada tahun 2010 ini, jika dibandingkan dengan data tahun
2008 menunjukkan peningkatan 20 persen. Sementara itu, wanita transgender
risiko terinfeksi HIV 34 kali lebih tinggi dibanding wanita biasa. (Republika, 12/02/2016).
Lebih lanjut data CDC, pada tahun 2013 di Amerika Serikat, dari screening gay
(pemeriksaan terhadap kaum Gay), yang berusia 13 tahun ke atas, 81 persen
diantaranya telah terinfeksi HIV dan 55 persen di antaranya terdiagnosis AIDS.
Bagaimana
dengan Indonesia? Penularan HIV di kalangan LGBT di Indonesia juga meningkat
secara signifikan. Jumlah penderita HIV di Indonesia di kalangan gay terus
meningkat dari 6 persen pada tahun 2008, naik menjadi 8 persen di 2010,
kemudian menjadi 12 persen di tahun 2014. Sedang jumlah penderita HIV di
kalangan PSK (pekerja seks komersial) cenderung stabil antara 8 persen sampai
dengan 9 persen. (Republika,12/02/2016).
2.Bahaya
Perilaku
LGBT bukan
karena faktor genetik/bawaan lahir, akan tetapi LGBT disebabkan pengaruh lingkungan,
faktor kejiwaan seseorang dan kondisi sosial masyarakat. Perilaku menyimpang
mereka, yang oleh para psikolog dan psikiatris, disebut dengan gangguan
kejiwaan, sebenarnya bisa disembuhkan. Dengan syarat mereka mau diterapi agar
bisa meninggalkan perilaku mereka yang menyimpang tersebut.
Perilaku
komunitas LGBT yang menyimpang ini, jika mereka dibiarkan mempromosikan
perilakunya di hadapan publik dengan berbagai macam kegiatan, akan mempengaruhi
opini umum bahwa mereka bisa hidup dengan normal dan bisa diterima masyarakat.
Karenanya, bentuk perilaku menyimpang ini bisa menular atau mempengaruhi orang
lain untuk mengikuti gaya hidup mereka. Apalagi jika perilaku LGBT ini tidak
bisa dipidana.
Sebenarnya,
jika kita perhatikan secara jeli dan dalam pandangan yang normal, LGBT
merupakan perilaku kotor dan menjijikkan. LGBT merupakan penyakit gangguang
kejiwaan yang bisa disembuhkan, asal pelakunya bersedia berobat dan diterapi.
LGBT bukanlah gaya hidup modern, tapi sebuah penyimpangan seksual. Komunitas
LGBT ini telah ada sejak jamannya Nabi Luth, ribuan tahun yang lalu yang
dikenal dengan kaum Sodom, makanya perilaku mereka disebut dengan sodomi, dan
mereka telah dibinasakan oleh ahzab Allah. Namun kini, perilaku ini dianggap
modern dan legal, paling tidak di beberapa negara yang menganut paham liberal,
seperti Amerika Serikat, Belanda, Inggris, dan lain-lain.
Penyimpangan
orientasi seksual ini jelas merupakan ancaman bagi eksistensi sebuah keluarga.
Perkwainan yang awalnya merupakan hal yang sakral dan legal dengan maksud untuk
melestarikan keturunan, dimana lahirnya seorang anak dari sebuah perkwaninan
menjadi dambaan bagi pasangan pengantin, akan berubah sekedar pemuas nafsu
birahi saja. Adanya anak yang lahir dari pasangan pengantin bukan lagi
menjadi harapan bagi kaum LGBT, karena tujuan mereka hanya sekedar pelampiasan
nafsu saja.
3.
Bahaya konspirasi gobal
WHO telah
menghapus LGBT dari daftar penyakit mental (Diagnosis and Statistical Manual of
Mental Disorders). Menurut mereka, LGBT adalah perilaku normal bukan kelainan
mental. Bahkan sebagai wujud pengakuan terhadap eksistensi kaum LGBT, kini
telah ditetapkan hari Gay Sedunia dan ada 14 negara yang membolehkan pernikahan
sejenis, dan hanya 3 negara yang menganggap LGBT sebagai kriminal. (Republika, 12/02/2016).
LGBT saat ini
bukan lagi perilaku individu melainkan sudah menjadi sebuah gerakan global yang
terorganisir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Penyebaran dan kampanye
kegiatan komunitas LGBT di Indonesia banyak dipengaruhi oleh serangan budaya asing
dan disokong dana oleh lembaga-lembaga asing. Ditemukan di halaman 64 laporan
“Hidup sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia), yang merupakan hasil
dialog dan dokumentasi Komunitas LGBT Nasional Indonesia pada tanggal 13-14
Juni 2013 di Bali sebagai bagian dari prakarsa “Being LGBT in Asia” oleh UNDP
dan USAID.
Dalam data
tersebut diungkap bahwa sebagian besar organisasi LGBT mendapatkan pendanaan
dari lembaga donor internasional seperti USAID. Pendanaan juga diperoleh dari
AusAID, UNAIDS, dan UNFPA. Ada sejumlah negara Eropa yang pernah mendanai
program jangka pendek, terutama dalam kaitan dengan HAM LGBT. Pendanaan paling
luas dan sistematis disediakan oleh Hivos, sebuah organisasi Belanda,
kadang-kadang bersumber dari pemerintah negeri Belanda. Kemudian Ford
Foundation bergabung dengan Hivos dalam menyediakan sumber pendanaan bagi
organisasi-organisasi LGBT.
UNDP dan
USAID meluncurkan prakarsa “Being LGBT in Asia” pada tanggal 10 Desember 2012.
Diantara negara yang menjadi fokus program ini adalah Cina, Indonesia,
Philipina dan Thailand (https//www.usaid.gov/asia-regional/being-lgbt-asia).
Berdasarkan
dokumen UNDP, program “Being LGBT in Asia” fase 2 dijalankan dari Desember 2014
hingga September 2017 dengan anggaran US$ 8 juta (http//www.asia-pacific.undp.org/content/rbap/en/home/operation/projects/overview/being-lgbt-in-asia.html)
Pada Oktober
2015, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki Moon mengaku akan
menggencarkan perjuangan persamaan hak-hak LGBT. LGBT juga menjadi salah satu
agenda penting Amerika Serikat (lihat:Dokumen USAID: “Being LGBT in Asia’
Report Build Understanding)
Mereka
memasarkan dan mengkampanyekan program-programnya melaui berbagai sarana dan
prasana, diantaranya sebagai berikut:
1. Jalur
Akademik (Intelektual)
Mereka
memanfaatkan perguruan tinggi sebagai sarana untuk mempromosikan gerakannya.
Misalnya dibuat ”Prinsip-Prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles)
yang mendukung keberadaan kaum LGBT. Muncul lembaga-lembaga pro LGBT di
Universitas Indonesia (UI), yang bernama SGRC (Support Group and Resource
Center on Sexuality Studies) Januari 2016 lalu.
2. Jalur
Sosial Budaya
Kampanye
keberadaan LGBT dipropagandakan lewat berbagai media seperti: advokasi,
konsultasi, film, aksi lapangan, seni, media massa, dan sebagainya, tujuannya
agar terjadi pemahaman umum sehingga masyarakat menerima keberadaan LGBT.
3. Jalur
Jaringan / Komunitas
Tahun 2016,
di Indonesia ada 2 jaringan nasional pendukung LGBT, dan ada 119 kelompok LGBT
di 28 propinsi (dari 34 propinsi) di Indonesia dengan jutaan pengikut. Atas
sponsor UNDP dan USAID, pada 13-14 Juni 2013, mereka berhasil mengelar Dialog
Komunitas LGBT Nasional Indonesia di Nusa Dua Bali. Pesertanya 71 orang dari 49
lembaga pro LGBT di Indonesia. (Sumber: docplayer.info, diakses 15/2/2016)
4. Jalur
Bisnis
Keberadaan
kaum LGBT mendapatkan dukungan opini dan juga dana dari dunia bisnis. Beberapa
merek dagang dunia telah terang-terangan berkampanye mendukung atau pro LGBT.
Misalnya : Facebook, Whatsapp, LINE, dll yang mempunyai simbol atau
emoticon yang pro LGBT.
5. Jalur
Politik
Di
koran Republika (12/2/2016)
halaman 9 pada judul “Dubes AS Dukung LGBT” terdapat berita: “Pihak Kedutaan
Besar Amerika Serikat untuk Indonesia menegaskan dukungannya terhadap
pernikahan sejenis di kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Dubes AS
untuk Indonesia Robert O Blake, bahkan mendesak Pemerintah Indonesia mengambil
sikap serupa.” “Saya tahu ini isu sensitif, tapi Indonesia sebagai negara
demokrasi harus bisa memberikan contoh bagi negara-negara lain,” kata Blake
saat mengunjungi kantor Harian
Republika,Kamis (11/2). Ia mendorong Pemerintah Indonesia
memberikan contoh soal pemberian kesetaraan terhadap kaum LGBT karena selama
ini berhasil memimpin demokratisasi regional melalui Bali Democracy Forum.
Jelas sekali
bahwa propaganda LGBT merupakan sebuah konspirasi global yang akan membawa
bahaya besar bagi negeri ini dan penduduknya. Penyebaran LGBT di Indonesia,
merupakan upaya sistematis yang banyak dipengaruhi oleh serangan budaya barat.
Hal ini dimaksud untuk menjauhkan masyarakat Indonesia meninggalkan ajaran
agamanya, alias sekulerisme. Karenanya harus ditolak dan dilawan oleh
seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Perlawanan dari segi hukum harus
disiapkan sanksi bagi para pelakunya. Jika tidak ada sanksi apa gunanya hukum?
Bukankah hukum dibuat sebagai sarana mencegah dan membuat jera pelaku kriminal.
Jika tidak ada sanksi, sama saja bohong.
*) Pengamat
Sosial/Komunitas “Peduli Generasi”
sumber : Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar