Hukuman Pelaku Homo Menurut Islam
Homoseksual atau liwath
menurut sistem sanksi dalam Islam (Nizhamul Uqubat) termasuk dalam perkara had
(hudud).
Hudûd secara istilah adalah
sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh syara’ bagi suatu tindak
kemaksiyatan untuk mencegah pelanggaran pada kemaksiyatan yang sama.
Kemaksiyatan yang sanksinya
termasuk bagian dari hudûd, yakni yang wajib dikenai sanksi had ada enam macam
yakni: zina , liwath (homoseksual), qadzaf, syarb al-khamr (minum khamr),
pencurian, riddah, hirabah, dan bughât.
Peringatan Alquran dan
Hadits
Terdapat peringatan untuk
semua hudûd ini. Untuk yang melakukan praktik liwath (homoseksual) ada
peringatan dalam Alquran dan Hadits. Alquran menyatakan liwath sebagai
perbuatan keji. Allah Swt berfirman:
“Dan (Kami juga telah
mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya:
"Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah
dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas." (QS al-A’râf
[7]: 80-81)
Alquran juga menjelaskan
sanksi Allah bagi kaum Luth , yakni bahwa Allah Swt memberi sanksi kepada
mereka dengan khasf (dilempar batu hingga mati). Allah Swt. berfirman:
“Maka tatkala datang azab
Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan),
dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan
bertubi-tubi." (QS Hûd [11]: 82)
Allah Swt mengisahkan hal
itu kepada kita untuk mengingatkan kita. Sedangkan menurut Sunnah, telah
diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dari ‘Amru bin ‘Amru dan Nabi Saw bahwa
beliau bersabda, “Terlaknatlah orang
yang mengerjakan perbuatannya kaum Nabi Luth”.
Dari Ibnu ‘Abbas berkata,
“Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang kalian dapatkan sedang melakukan
perbuatannya kaum Nabi Luth, bunuhlah kedua pelakunya.”
Karena itu diketahui sanksi
liwâth (homoseksual) berbeda dengan sanksi zina. Sebab zina berbeda dengan
liwâth. Fakta liwâth berbeda dengan fakta zina. Dengan kata lain, masing-masing
antara keduanya berbeda. Liwâth bukanlah termasuk salah satu jenis dari
perzinaan, sehingga dikatakan bahwa liwâth masuk ke dalam keumuman dalil-dalil
syara’ yang menyebut tentang perzinaan. Sebab, zina adalah masuknya kelamin
laki-laki ke dalam farjinya perempuan, sedangkan liwâth adalah masuknya kelamin
laki-laki ke dalam duburnya laki-laki. Masuknya kelamin ke farji berbeda dengan
masuknya kelamin ke dubur. Oleh karena itu liwâth berbeda dengan zina.
Hukum syara’ dalam sanksi
liwâth adalah bunuh; baik muhshan maupun ghairu muhshan. Setiap orang yang
terbukti telah melakukan liwâth, keduanya dibunuh sebagai had baginya. Dalil
yang demikian itu adalah sunnah dan ijma’ shahabat. Adapun sunnah, dari
‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbâs ra berkata, “Rasulullah Saw bersabda,
«مَنْ
وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْا الْفاَعِلَ
وَالْمَفْعُوْلَ بِهِ»
”Barangsiapa yang kalian dapati
sedangkan melakukan perbuatannya kaum Luth, maka bunuhlah keduanya.”
Diriwayatkan oleh Imam yang lima kecuali Nasa’iy.
Al-Hâfidz berkomentar, “Rijalnya
tsiqat akan tetapi hadis ini masih diperselisihkan.” Ibnu Thalâ’ di dalam Ahkam
mengatakan, “Tidak ada ketetapan dari Rasulullah Saw bahwa beliau merajam kasus
liwâth, beliau juga tidak menjatuhkan hukuman pada kasus liwâth, namun liwâth
ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa beliau Saw bersabda,
«اُقْتُلُوْا
الْفاَعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ»
“Bunuhlah kedua pelakunya.”
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbâs dari Abû
Hurayrah. Selesai. Ini adalah dalil dari sunnah bahwa hukum liwâth adalah
bunuh.
Adapun apa diriwayatkan dari Sa’id bin
Jabi dan Mujâhid dari Ibnu ‘Abbâs,
«فِي الْبِكْرِ
يُوْجَدُ عَلَى اللِّوَطِيَّةِ يُرْجَمُ»
”Jejaka yang didapati sedang melakukan
liwâth maka rajamlah.” Maksud dari hadis di atas adalah bunuhlah dengan hukuman
rajam, bukan bermakna bahwa had liwâth adalah rajam.
Hukum liwâth adalah dengan dibunuh dan
boleh membunuh dengan cara rajam, gantung, ditembak dengan senapan, atau dengan
wasilah yang lain. Karena hukum liwâth adalah hukuman mati, uslub atau wasilah
yang digunakan untuk membunuh boleh berbeda-beda, karena yang penting adalah
menjatuhkan hukuman mati.
Ijma' Shahabat
Adapun ijma’ shahâbat, sesungguhnya
para shahâbat berbeda pendapat dalam menetapkan uslub (cara) untuk membunuh
pelaku liwâth, akan tetapi mereka sepakat untuk membunuhnya.
Baihaqiy mengeluarkan hadis dari ‘Alî
ra bahwa beliau ra merajam pelaku liwâth. Baihaqiy juga mengeluarkan dari Abû
Bakar ra bahwa beliau mengumpulkan para shahâbat untuk membahas kasus
homoseksual. Diantara para shahâbat Rasulullah itu yang paling keras
pendapatnya adalah ‘Alî bin Abi Thâlib ra. Ia mengatakan, ”Liwâth adalah
perbuatan dosa yang belum pernah dilakukan oleh umat manusia, kecuali satu umat
(yakni umat Luth) sebagaimana yang telah kalian ketahui. Dengan demikian kami
punya pendapat bahwa pelaku liwâth harus dibakar dengan api. Diriwayatkan dari
Ja’far bin Muhammad dari bapaknya dari ‘Alî bin Abi Thâlib selain dari kisah
ini berkata, ”Rajam dan bakarlah dengan api.”
Baihaqiy mengeluarkan dari Ibnu ‘Abbâs
bahwa beliau ditanya tentang had pelaku liwâth, beliau ra berkata, ”Jatuhkanlah
dari atas bangunan yang paling tinggi di suatu daerah, kemudian hujanilah
dengan lemparan batu.” Diriwayatkan dari ‘Alî ra, ”Bahwa beliau membunuh pelaku
liwâth dengan pedang, kemudian membakarnya, karena demikian besar dosanya.”
‘Umar dan ‘Utsman berpendapat, ”Pelaku ditimpuki dengan benda-benda keras
sampai mati.” Semua ini adalah pendapat yang menunjukkan bahwa had liwâth
adalah dibunuh, walau uslub pembunuhannya berbeda-beda.
Selain itu telah dikisahkan oleh
shâhib al-syifâ’ (ijma’ shahâbat untuk menjatuhkan had bunuh bagi pelaku
liwath). Hal ini telah menjadi ijma’, yakni ijma’ shahâbat telah menetapkan
bahwa pelaku liwâth hukumnya adalah dibunuh, baik pelaku maupun yang
dikumpulinya, muhshan maupun ghairu muhshan. Ijma’ shahâbat sendiri adalah
dalil syara’ sebagaimana sunnah.
Pembuktian Homoseksual
Pembuktian liwâth berbeda dengan
pembuktian zina, akan tetapi pembuktian liwâth seperti halnya pembuktian salah
satu had dari hudûd yang ada kecuali zina. Sebab, selama tidak dibenarkan
menyamakan liwâth dengan zina, maka liwâth tidak boleh ditetapkan berdasar
bayyinah (pembuktian) zina. Oleh karena itu, pembuktian liwâth dikategorikan ke
dalam dalil hudûd yang lain.
Dengan demikian, liwâth terbukti
dengan adanya pengakuan, kesaksian dua orang saksi, atau seorang laki-laki dan
dua orang perempuan, sebagaimana bayyinah (pembuktian) pencurian, serta
pembuktian pada hudûd yang lain.
Had liwâth dapat dijatuhkan dengan
syarat, pelaku liwâth baik pelaku maupun yang dikumpulinya; baligh, berakal,
karena inisiatif sendiri, dan ia terbukti telah melakukan liwâth dengan bukti
syar’iyyah, yaitu, kesaksian dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan
dua orang perempuan. Seandainya pelaku liwâth adalah anak kecil, orang gila,
atau dipaksa dengan pemaksaan yang sangat, maka ia tidak dijatuhi had liwâth.
[SR/Nizhamul Uqubat]
Sumber : suara-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar