LGBT Sebagai Bahaya yang Serius
Tolak LGBT |
Beberapa
hari lalu MK
memutuskan menolak mengadili gugatan soal LGBT. MK kehilangan kesempatan untuk
memperluas pengertian perbuatan cabul yang terlarang dalam hukum pidana,
sehingga perbuatan zina & cabul penyandang pelaku sex menyimpang LGBT tetap tidak dapat dipidana, dan publik melihat
tidak adanya larangan tegas dan ancaman pidana bagi pelaku LGBT.
Hari ini
kita disadarkan terhadap fakta bahwa perilaku orang terkutuk Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGBT) telah menyebar sedemikian rupa di masyarakat.
Komunitas LGBT bergerak untuk mengubah dirinya dari kelompok marjinal menjadi
kelompok yang mendapat legitimasi resmi dari pemerintah dan masyarakat pada
umumnya. Saat ini, komunitas ini dibentuk untuk memerangi HIV, yang seolah-olah
menyoroti penderitaan kaum homoseksual, yang menderita HIV.
Jumlah
aktor dan komunitas pendukungnya terus bertambah. Mengutip data Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) pada 2012, ada sekitar 1.095.970 laki-laki yang
berperilaku menyimpang. Jumlah ini naik 37% dari tahun 2009. Diyakini, jumlah penganut
homoseksual hingga 2017 sudah meningkat signifikan. Dalam laporan UNDP 2015,
'Being LGBT in Asia', dilaporkan ada 119 pendukung organisasi LGBT yang
tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia. Mereka menggunakan berbagai
cara untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan penyimpangan mereka. Mereka
terus bergerak untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan agar memiliki dasar hukum
untuk membenarkan perilaku tersebut.
Penentangan
terhadap pernikahan gay di beberapa negara Barat ditentang keras karena para
pendukung telah berhasil membingkai isu tersebut sebagai salah satu hak yang
sama. Dengan logika ini, mereka berpendapat bahwa jika Anda menentang
pernikahan gay, Anda menentang persamaan hak untuk semua orang. Ini adalah
contoh nyata dari sistem liberalisme yang keliru di mana keputusan yang tidak
masuk akal dipraktikan oleh pemerintah yang memberikan ‘toleransi’ kepada
minoritas untuk mewujudkan pemenuhan sensual menyimpang mereka, namun
tidak membuat pertimbangan mengenai dampak negatifmya terhadap keseluruhan
masyarakat.
Pada kasus
ini, merupakan indikasi yang jelas bahwa sistem Demokrasi telah gagal
menyelesaikan masalah sosial semacam itu. Jika pereilaku kumpul kebo dan LGBT
dibiarkan, secara logis kita akan mendapatkan statistik suram ditandai meningkatnya
penderita infeksi HIV dan meningkatnya jumlah gay. Ada agenda tersembunyi di
balik semua ini, negara-negara Barat mengekspor masalah dalam negerinya berupa
badai kerusakan moral sehingga dapat diklaim bahwa masalah moral tidak hanya
ditemukan di komunitas mereka, sehingga negara-negara Barat dapat menyelamatkan
muka mereka maupun memasarkan sistem Demokrasi mereka.
Ini
kenyataan di negeri dengan mayoritas kaum muslim, kaum muslimin telah meyakini
Islam. dan Islam telah tegas melarang perzinaan, homoseksual, liwath dan LGBT.
Nampak jelas bagaimana buruk dan bahayanya homoseksual dan betapa besarnya
sanksinya menurut hukum Islam. Seharusnya negara ini menyelamatkan rakyatnya
untuk tidak terjerumus ke dalam perzinaan dan LGBT, tidak dibenarkan negara
menjerumuskan rakyatnya ke dalam kebinasaan.
Islam...
Hanya Islam yang bisa memecahkan masalah sosial. Seperti hukuman mati untuk
perilaku liwath dan hukuman lain yang lebih tegas untuk perilaku menyimpang.
Islam menyediakan lingkungan yang kondusif yang menghambat individu untuk tidak
melibatkan atau melihat materi yang tidak pantas yang mendorong hasrat tak
berujung pada orang.
Adalah
pendapat Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam Nidzômul Uqûbât. Beliau menyatakan
bahwa Sanksi Liwath (homoseksual) berbeda dengan sanksi zina. Karena, zina
berbeda dengan liwath, dan tidak bisa diqiyaskan dengan zina. Alasannya, hukum
liwath berbeda dengan hukum zina. Hukum syara’ dalam sanksi liwath adalah
bunuh, baik muhsan maupun ghairu muhshan.
Syaikh
al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi dalam Fiqh Empat Mazhab
(Terjemah kitab Rahmah Al-Ummah fi Ikhtilaaf al-‘Aimmah) mengangkat pendapat
imam madzhab berkaitan dengan homoseksual. Beliau menyatakan : “Para imam
mazhab sepakat bahwa homoseks hukumnya adalah haram, dan termasuk jinayat yang
besar. Apakah pelakunya dikenai had?. Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dan
Hambali: Pelakunya wajib dikenai had. Hanafi berkata: Di-ta’zir jika dilakukan
pertama kali. Sedangkan jika berulang kali melakukannya maka ia wajib dibunuh.
Para imam
mazhab berbeda pendapat tentang sifat homoseks yang mewajibkan pemberlakuan
had. Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dalam salah satu pendapatnya serta satu
riwayat yang dianggap paling jelas dari Hambali: Had yang dijatuhkan pada orang
yang melakukan homoseks adalah dirajam, baik pelakunya itu jejaka, gadis, duda,
maupun janda.
Sedangkan
menurut pendapat lain dari Syafi’i dan pendapatnya yang dianggap paling kuat:
Had yang diberlakukan adalah had zina. Kemudian Syafi’i membedakan antara
pelaku yang jejaka serta duda dan gadis serta janda. Bagi muhsan dikenai hukum
rajam, sedangkan bagi bukan muhshan dikenai hukuman cambuk. Seperti ini juga
pendapat Hambali. Para imam Mazhab sepakat bahwa bukti yang diperlukan tentang
terjadinya homoseksual adalah empat orang sebagaimana zina. Namun, hanafi
membolehkan penetapannya dengan dua orang saksi laki-laki. (Syaikh al-‘Allamah
Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi),
2015. Hal. 432).
Penegakan
hukuman ini tidak bisa sendiri-sendiri, harus dilakukan oleh imam / khalifah
atau yang mewakilinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Abdurrahman al-Maliki
dalam Nidzôm al-‘uqûbât :
“Sanksi di dunia dilaksanakan oleh imam
(khalifah) atau orang yang mewakilinya. Yaitu, diselenggarakan oleh negara
dengan cara menegakkan hudud Allah, dan melaksanakan hukum-hukum jinayat,
ta’zir dan mukhalafat.”
Oleh : Umar Syarifudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar