Musisi dan Pendakwah Injil Masuk Islam
Yusuf Estes |
Tak sedikit yang bertanya-tanya soal keputusan
pendeta Yusuf Estes memeluk Islam. Apalagi di tengah pembicaraan negatif
tentang Islam dan muslim.
“Banyak orang ingin tahu, bahkan
mempertanyakan secara detail mengapa saya memeluk Islam,” ujar
Estes. karena memang pilihan yang diambilnya sangat diluar dugaan, yaitu dia memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.
Estes lahir dari keluarga Kristen yang
taat di Midwest, Amerika Serikat. Keluarganya secara turun-temurun membangun
gereja dan sekolah di AS.
Ia
menempuh pendidikan dasar di Houston, Texas. Semasa kecil, ia selalu menghadiri
gereja secara teratur. Ia dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, Texas.
Keingintahuannya
yang besar terkait ajaran Kristen membuatnya ingin mengunjungi gereja-gereja
lain. Ia datangi gereja Metodis, Episkopal. Nazareth, Agape, Presbyterian dan
lainnya, dia melakukan perjalanan yang cukup panjang dalam rangka memenuhi dan menghilangkan dahaga akan apa yang selama ini mengantuinya.
Tak
hanya itu, Estes juga mempelajari agama lain seperti Hindu, Yahudi, dan
Buddha. “Saya
tidak menaruh perhatian serius pada Islam. Inilah yang banyak ditanyakan oleh
teman-temanku,” kenang dia.
Tak
hanya tertarik dengan agama, Estes juga menaruh perhatian pada musik, utamanya
musik klasik. Kebetulan, keluarganya gemar menikmati musik. Ia bahkan menjadi
pengajar Keyboard pada tahun 1960 dan tiga tahun kemudian memiliki studio
sendiri di Laurel, Maryland.
Seiring
berlalunya waktu, bisnis yang digeluti Estes terus berkembang. Bersama ayahnya,
ia membuat program hiburan dan atraksi. Ia juga membuka toko piano dan organ
sepanjang jalan dari Texas, Oklahoma dan Florida.
Dari
bisnis itu, Estes memperoleh pendapatan hingga jutaan dolar AS. Tapi ada satu
hal yang mengganjal. Pikirannya tidak merasa tenang. “Mengapa Tuhan menciptakan aku? Apa yang
Tuhan inginkan?. Tapi di agamaku terdahulu, siapa pun harus percaya
tanpa perlu bertanya,” tuturnya.
Satu
hal yang membuat Estes merasa aneh adalah tidak terdapat kata “trinitas” dalam
Injil. Masalah itu, kata dia, telah menjadi perhatian selama dua abad. Ia
pernah mempertanyakan masalah ini kepada para pendeta.
Nyatanya,
tidak ada jawaban yang logis. Sebaliknya, terlalu banyak analogi dan pendapat
yang aneh. Untuk sementara pikiran itu teralihkan oleh kesibukannya dalam
mengurusi bisnis.
Kesibukan yang begitu padat dan menyita waktu yang cukup banyak membuat nya mulai merasakan lelah dan penat, namun begitu ia tetap menjalankan bisnisnya yang memang sedang berkembang pada saat itu.
Kesibukan yang begitu padat dan menyita waktu yang cukup banyak membuat nya mulai merasakan lelah dan penat, namun begitu ia tetap menjalankan bisnisnya yang memang sedang berkembang pada saat itu.
Bisnis
Estes terus berkembang, kali ini ia memproduksi lagu-lagu pujian dan
mendistribusikannya secara gratis kepada pensiunan, rumah sakit dan panti
jompo. “Memberikan
siraman rohani kepada orang lain membuatku lupa dengan keraguan yang kualami,” ungkapnya.
Diawal
1991, bisnis Estes mulai merambah keluar negeri. Negara pertama yang ia
kunjungi adalah Mesir.
Di
negeri Piramida, Estes bertemu dengan seorang pria Muslim. Satu hal yang ada di
pikiran Estes tentang Muslim, “teroris”. Estes tidak percaya ia harus
berhubungan dengan sosok yang begitu ia benci.
“Mereka tidak percaya kepada Tuhan.
Mereka adalah penyembah kotak hitam di padang pasir. Mereka cium tanah lima
kali sehari. Sial, saya tidak ingin bertemu dengan mereka,” kata
Estes menirukan ucapannya dahulu saat tiba pertama kali di Mesir.
Sikap
Estes akhirnya luluh, ketika ayahnya menjelaskan sosok yang bakal ditemui.
Ayahnya mengatakan calon klien yang akan ditemui memiliki kepribadian yang
baik. Tapi alasan yang paling diterima Estes adalah rencana ayahnya untuk
mengkristenkan setiap Muslim. “Itulah alasan kuat yang akhirnya membuat
saya mau bertemu dengan pria Muslim itu,” ucapnya.
Akhirnya,
Estes dan ayahnya bertemu dengan pria Muslim itu setelah kebaktian. Dengan
sikap jumawa, Estes memegang erat Injil di tangannya. Ia bawa salib dengan
tampilan mengilap. Detik-detik bertemu dengan kliennya itu, Estes terkejut.
“Orang ini sangat hangat. Mereka
ramah sekali,” kenang Estes ketika bertemu pertama kali dengan pria
tersebut. Penampilan pria ini seperti kebanyakan masyarakat Arab. Mereka
kenakan jubah panjang, bersorban, dan berjanggut. Bedanya, pria ini tidak
memiliki rambut.
Berikut dialog Estes dan Pria itu:
Estes: Apakah
anda percaya pada Tuhan?
Pria
Muslim: Ya
Estes: Apakah
anda percaya Adam dan Hawa?
Pria Muslim: Ya
Pria Muslim: Ya
Estes: Bagaimana
dengan Ibrahim, anda percaya kepadanya dan bagaimana ia mencoba mengorbankan
putranya untuk Allah?
Pria
Muslim: Ya
Estes: Bagaimana
dengan Musa? Sepuluh perintah Tuhan? Membelah Laut Merah?
Pria
Muslim: Ya
Estes: Bagaimana
dengan nabi lain; Daud, Sulaiman dan Yunus?
Pria Muslim: Ya
Pria Muslim: Ya
Estes: Apakah
anda percaya dalam Alkitab?
Pria Muslim: Ya
Pria Muslim: Ya
Estes: Apakah
anda percaya pada Yesus? Bahwa ia adalah Mesiah (utusan) Allah?
Pria
Muslim: Ya.
“Aku merasa lebih mudah. Ia (Muslim)
siap dibaptis, hanya saja ia tidak tahu apa yang akan saya lakukan,” kata
Estes.
Perbincangan itu sempat membuat Estes terkejut. Ternyata seorang Muslim percaya pada Injil. Tapi dirinya baru tahu kalau keimanan Muslim terhadap Yesus hanya sebatas utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, lahir tanpa ayah, tengah berada di langit bersama pencipta-Nya dan akan turun ketika akhir zaman tiba.
Perbincangan itu sempat membuat Estes terkejut. Ternyata seorang Muslim percaya pada Injil. Tapi dirinya baru tahu kalau keimanan Muslim terhadap Yesus hanya sebatas utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, lahir tanpa ayah, tengah berada di langit bersama pencipta-Nya dan akan turun ketika akhir zaman tiba.
Estes tak berhenti bertanya kepada pria Muslim
itu. Ia bertanya banyak hal. Dalam pikiran Estes, ada kepercayaan diri tinggi
bahwa pria Muslim itu bakal menjadi penganut Kristen yang taat.
Lalu
bisnisnya bakal berkembang lebih dari yang dibayangkan. “Saya
minta kepada ayah untuk segera mempercepat bisnis dengan pria Muslim ini,” kata
dia.
Sebelum
tercapai kata sepakat, Estes mulai menjalani tugasnya sebagai misionaris. Ia
temui orang miskin, lalu berbicara dengan tentang konsep ketuhanan dalam
Kristen. Ia juga mengunjungi sesama pendeta dan penginjil di seluruh negara
bagian Texas.
Suatu
hari, ada salah seorang temannya yang mengalami serangan jantung, dan harus
pergi ke Rumah Sakit Veteran. Estes mengunjunginya beberapa kali dalam sepekan.
Ketika bertemu dengan kerabatnya itu, ia bertemu dengan salah seorang pasien
lain yang tengah duduk dengan kursi roda.
Estes
melihat pria itu begitu kesepian dan depresi. “Saya temani dia sembari mengisahkan cerita
Yunus. Intinya, saya coba memberitahunya bahwa kita tidak bisa lari dari
masalah karena kita sebenarnya tahu apa yang harus dikerjakan. Yang lebih penting
lagi, Tuhan tahu apa yang dilakukan umatnya,” ujarnya.
Setelah
berbagi cerita, pria itu lalu mendongak ke langit, lalu meminta maaf. Pria itu
mengatakan kepada Estes soal penyesalan dirinya atas perbuatannya selama ini.
Pria itu kemudian mengadu kepada Estes. “Ia berkata padaku, ia seorang imam Katolik.
Saya sangat terkejut, apa yang terjadi di dunia ini?” kata
Estes heran.
Mendengar
kisah pastor itu, Estes mengajaknya tinggal bersama. Dalam perjalanan pulang,
Estes dan pastor itu berbicara panjang lebar tentang kepercayaan dalam Islam.
Yang
mengejutkan, pastor itu mengakui kebenaran Islam. “Ia tengah mempelajari Islam. Saya sempat
terkejut. Inilah masa di mana saya akhirnya mulai menerima Islam,” kenang
Estes.
Setibanya
di rumah, Estes kembali melanjutkan diskusi bersama pastor itu. Ia bawa Injil
James dan Injil lainnya. Ia habiskan waktu sepanjang hari untuk berbicara
tentang kebenaran dalam Injil.
Pada
satu titik, Estes bertanya pada pastor itu tentang Al-Quran berikut versi
barunya. “Dia
mengatakan pada saya, hanya ada satu Al-Quran. Tidak ada yang berubah dengan
Alquran!” tutur Estes.
Melihat
Estes penasaran, pastor itu menjelaskan bahwa ratusan bahkan jutaan Muslim yang
tersebar di muka bumi, telah menghafal Al-Quran. Yang membuat Estes bingung,
bagaimana bisa Al-Quran bisa bertahan sekian abad, sementara kitab sucinya
sendiri telah berubah selama ratusan tahun. Bahkan tidak diketahui naskah
aslinya. “Jadi,
bagaimana bisa Al-Quran tidak berubah?” tanya Estes heran.
Pada
suatu hari, sang pastor meminta Estes untuk mengantarkannya ke masjid. Di sana,
Estes baru mengetahui bahwa mereka (Muslim) hanya datang untuk shalat dan pergi
kemudian. Ia merasa aneh melihat mereka, yang tak bernyanyi atau
menyenandungkan pujian.
Beberapa
hari kemudian, pastor itu meminta Estes untuk kembali mengantarkannya ke
masjid. Namun, Estes meminta pesuruhnya untuk mengantikan dirinya. Cukup lama
pastor itu mengunjungi masjid, hingga memunculkan kekhawatiran Estes.
Tiba-tiba,
Estes dikejutkan dengan sosok menggunakan jubah putih dan peci. “Hei,
siapa anda? Apakah anda, apakah anda telah menjadi Muslim?” Estes
kaget bukan kepalang.
Belum
selesai dengan rasa terkejutnya dengan keputusan pastor itu memeluk Islam,
giliran istrinya yang menyatakan niatnya untuk memeluk Islam. “Saya
sangat terkejut. Saya tidak bisa tidur,” kata Estes.
Jelang
Subuh, Estes tak lagi mampu menutupi keinginannya untuk memeluk Islam. Ia
keluar rumah, lalu menemukan sepotong kayu, ia berdirikan kayu tepat di arah
kiblat umat Islam. Dalam hati Estes bertanya, “Ya Tuhan, jika Kau ada di sana, bimbing
aku, bimbing aku.”
Beberapa
saat kemudian, Estes melihat sesuatu. Ia tidak melihat malaikat atau mendengar
sesayup suara. Ia melihat dirinya sudah berubah. Ia melihat dirinya sudah
seharusnya menghentikan perbuatan bodoh dan melakukan sesuatu yang licik.
Selanjutnya,
Estes membersihkan dirinya. Sekitar pukul 11.00 pagi, ia berdiri di depan dua
saksi, salah satunya si mantan pastor—yang dikenal sebagai Bapa Peter Jacob—dan
lainnya Abdel Rahman. Estes lalu mengucapkan dua kalimat syahadat.
“Aku
bersaksi, tidak ada tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah,” ucap Estes mantap. Selanjutnya, giliran sang
istri mengucapkan dua kalimat syahadat. Beberapa bulan kemudian, giliran ayah
Estes mengucapkan dua kalimat syahadat.
Tak
lama setelah ayahnya, giliran ibunya mengakui bahwa Yesus bukanlah anak Tuhan.
Ia adalah nabi. “Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima
keimanannya,” kata Estes.
Estes
begitu cepat beradaptasi dengan status barunya. Seluruh kegiatan bisnis yang ia
lakukan dimodifikasi dengan menjadi medium untuk menyebarkan syiar Islam. Ia
juga membangun sekolah-sekolah guna mendidik para Muslim mendalami Al-Quran.
“Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’alamembimbing kita menuju
kebenaran. Aamiin,” pungkasnya.
Inilah sekelumit dan sepenggal kisah Mualaf yang mendapat kemuliaan Islam, dan memang tidak bisa kita pungkiri bahwa mereka yang kembali kepada Islam ( Mualaf ) umumnya terdiri dari kaum cerdik pandai dan akademisi. berbeda dengan mereka para Murtadin ( keluar dari Islam ) lebih banyak dari kalangan terbelakang, lemah ekonomi, lemah ilmu dan tentunya mereka lemah Iman.
Sumber : Kisahmualaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar